Tenun Endek Bali

PENDAHULUAN

Agar eksistensi kain ini tetap terjaga, adalah tanggung jawab kita bersama untuk melestarikannya. Sekarang waktunya kita ambil tanggung jawab. Kita pakai kain tenun yang ditenun oleh para perajin kita. Dari kita, untuk kita. Kita pakai kain tenun asli, perajin dan IKM bisa berkreasi dan berproduksi sehingga kesejahteraan akan terwujud.” (Ibu Putri Koster, Ketua Dekranasda Provinsi Bali).

Ajakan ini disampaikan oleh Ibu Putri Koster, Ketua Dekranasda Provinsi Bali, saat menjadi narasumber dalam acara ‘Aku Bali’ yang disiarkan pada 18 Februari 2021 melalui TVRI Denpasar. Ibu Koster menitipkan harapan beliau akan  upaya pelestarian kain Endek, baik dari kalangan pemerintah, lembaga atau komunitas terkait, maupun masyarakat umum. 

Beliau juga menyampaikan dukungan penuh Pemerintah Provinsi Bali dalam upaya pelestarian dan pengembangan kain tenun Endek Bali yang telah memperoleh Kekayaan Intelektual Komunal Ekspresi Budaya Tradisional dari Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.  Salah satu upaya tersebut adalah dikeluarkannya Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2021 tentang Penggunaan Kain Tenun Endek Bali / Kain Tenun Tradisional Bali, sebagai bentuk keberpihakan pada produk budaya lokal dari Industri Kecil Menengah (IKM) dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) masyarakat Bali.

SEJARAH TENUN ENDEK

Indonesia terkenal dengan keindahan seni budayanya. Salah satunya adalah kain tenun yang tercipta dari benang pakan dan benang lusi, yang beragam motifnya dari Aceh hingga Papua.  Keindahan kain tenun, baik nilai historisnya, proses pembuatannya, beragamnya motif serta filosofi yang terkandung di dalamnya menjadikan kain ini sangat berharga. Bali sebagai Pulau Dewata tidak hanya dikenal dengan tarian dan keindahan alamnya, namun juga kain tenun yang bernilai tinggi.

Suwati Kartiwa dalam Ragam Kain Tradisional Indonesia, Tenun Ikat (2007) menyampaikan bahwa kain atau wastra memiliki peran sangat penting dalam upacara-upacara adat di Bali. Masyarakat Bali menjalani kehidupannya dengan berbagai upacara, sejak lahir hingga meninggal, sejak matahari terbit hingga matahari terbenam. Setiap individu yang terlibat wajib mengenakan kain-kain atau pakaian tertentu dalam setiap upacara adat. 

 

Berbagai jenis kain digunakan, dari kain songket, kain tenun ikat, paduan songket dan ikat, ikat ganda atau dobel ikat (kain gringsing), tenun polos, hingga kain bergaris. Kain-kain tersebut berfungsi sebagai selendang, saput, kamben, kampuh, hingga destar atau udheng (ikat kepala). Fungsi kain di Bali tidak hanya sebagai penutup tubuh untuk sehari-hari maupun untuk upacara adat, namun juga untuk menghias tempat-tempat upacara di pura, rumah, atau di pusat desa.

Tenun Endek merupakan salah satu kain tradisional Bali yang merupakan warisan luhur nenek moyang dengan karakter khasnya. Endek berasal dari kata “gendekan” atau “ngendek”, yang bermakna diam atau tetap, tidak berubah warnanya. Proses pembuatan motif endek dengan cara diikat. Saat dicelup, warna benang yang diikat tetap atau tidak berubah. Inilah yang disebut “ngendek”.

Menurut Drs. A.A. Ngurah Anom Mayun KT, M.Sn., dosen desain mode ISI Denpasar, kain Endek Bali dibagi menjadi dua jenis. Dosen yang fokus mempelajari kain Bali ini menyebutkan dua jenis pembagian kain, yaitu Endek dan Gringsing. Endek dibuat menggunakan teknik ikat pakan di mana yang diikat adalah bagian pakan. Sedangkan Gringsing adalah kain yang menggunakan teknik dobel ikat di mana lungsi dan pakan diikat.

Kain Endek Bali dibuat dengan metode ikatan ganda atau dobel ikat. Beragam motif yang dimiliki Endek Bali, antara lain flora, fauna, dan pemandangan atau landscape. Menurut Prof. I Gede Pitana, Guru Besar Bidang Pariwisata Universitas Udayana kepada Kompas.com., kain Endek Bali istimewa karena diwarnai dengan warna-warna alami dari tumbuhan, dan karena merupakan hasil tenunan sehingga tidak ada yang sama satu dengan lainnya. Pitana mengatakan bahwa ada beberapa motif kain Endek yang dianggap sakral, yaitu motif Patra dan Encak Saji, yang hanya bisa digunakan untuk kegiatan di pura atau kegiatan keagamaan lainnya. Selain motif tersebut, kain Endek bisa digunakan sebagai pakaian atau tas, atau dipadukan dengan kain jenis lainnya, selama motifnya bukan motif yang dianggap suci.

Tenun Endek sudah ada sejak abad ke-16, di masa pemerintahan Raja Dalem Waturenggong di Gelgel, Klungkung. Pada saat itu hampir semua orang di Bali menenun menggunakan bahan katun asli yang dibuat dari kapas yang dilinting. Pada masa Kerajaan Gelgel, kain tenun endek khusus dikenakan oleh para bangsawan. Kain Endek yang sudah ada sejak jaman Kerajaan Gelgel mulai dikembangkan kembali di desa Sulang, salah satu desa di Klungkung, setelah masa kemerdekaan yang dimulai tahun 1975.

I Wayan Rudja merupakan pelopor bangkitnya kain Endek di desa Sulang. Warga asli desa Sampalan, kecamatan Dawan, kabupaten Klungkung ini semula sudah mapan dengan profesinya sebagai akuntan di Jakarta. Saat pindah tugas ke Bali usai Gunung Agung meletus pada 1963, Rudja melihat banyak sekali warga yang menganggur akibat dampak bencana alam tersebut. Terbesitlah ide untuk membuat usaha tenun ikat dengan memanfaatkan warga yang memiliki keahlian menenun. Dimulai dari sekitar 200 karyawan, Rudja mencoba mengembangkan produksi kain Endek. Inovasi pun dia kembangkan. Dari kain Endek berukuran lebar sekitar 12 sentimeter yang biasa digunakan untuk setagen (ikat pinggang), menyambung dua kain Endek selebar 60 sentimeter menjadi 120 sentimeter, hingga berhasil membuat kain Endek selebar 120 sentimeter tanpa sambungan. Rudja juga merakit sendiri alat tenun bukan mesin (ATBM) untuk mengembangkan usahanya. Menjelang 1990-an, perusahaan Setia Jaya I Wayan Rudja sudah memiliki sekitar 500 karyawan sebagai penenun. Kerajinan tenun Endek terus berkembang tidak hanya di desa Sulang namun meluas ke desa-desa lainnya di Klungkung serta daerah-daerah lainnya.

Kerajinan tenun Endek berkembang pesat pada tahun 1985 hingga 1995, namun mengalami pasang surut pada periode waktu 1996-2006 dan 2007-2012. Pasang surut ini disebabkan lemahnya perekonomian dan terputusnya bantuan pembinaan dari pemerintah. Selain itu produksi kain Endek juga menurun karena banyaknya persaingan dan bahan baku yang sulit diperoleh. Di tahun 2012 kain Endek mulai berkembang lagi dan mulai diminati sebagai bahan membuat seragam. Pemilihan Duta Endek juga dimulai sejak 2012 sebagai salah satu upaya pelestarian kain Endek. Seiring berjalannya waktu, kain Endek tidak hanya digunakan pada upacara-upacara adat, namun juga sebagai seragam sekolah, seragam pegawai, juga sebagai busana sehari-hari para pejabat negara, para selebriti, hingga wisatawan mancanegara. Masa pandemi sempat membuat lesu dunia usaha, termasuk produksi kain Endek. Namun pandemi juga membuat tenun Endek mulai mendunia. Pada akhir September 2020, kain tenun Endek muncul di pergelaran fashion dunia.

Rumah mode Christian Dior memperkenalkan koleksi ready to wear Spring/Summer 2021 di ajang Paris Fashion Week di Jardin de Tuileries, Paris. Dior untuk pertama kalinya menggunakan kain tenun tradisional (wastra) Indonesia dari Bali, yaitu kain tenun Endek. Sesuai keinginan Dior untuk mengangkat nilai kebudayaan dan keterampilan, khususnya dari para penenun perempuan, tenun Endek asli buatan para penenun perempuan Bali menjadi bagian dari koleksi Dior pada ajang ini. Kain tenun Endek dipadukan dengan kain tenun chiné asal Eropa. Kain Endek pesanan Dior dibuat dari bahan sutra yang didominasi motif flora. Ada sembilan motif tenun Endek yang digunakan untuk membuat baju luaran dan tas yang ditampilkan di ajang bergengsi taraf internasional tersebut. Dan menindaklanjuti komitmen pihak Dior untuk menggunakan tenun Endek asli produksi penenun perempuan Bali, pada awal Januari 2021 Marie Champey, Senior Vice President General Counsel untuk Christian Dior Couture S.A, Paris, mewakili pihak Dior melakukan penandatanganan Pernyataan Kehendak (Letter of Intention) dengan Gubernur Bali I Wayan Koster untuk menggunakan kain Endek Bali sebagai koleksi Spring/Summer 2021 dan mendukung promosi kebudayaan tradisional Indonesia.

Pemerintah Bali mendukung sepenuhnya upaya pelestarian dan pengembangan kain tradisional Bali termasuk tenun Endek.  Kain tenun Endek sebagai warisan budaya kreatif masyarakat Bali sudah dicatatkan sebagai Kekayaan Intelektual Komunal Ekspresi Budaya Tradisional dengan Nomor Inventarisasi EBT.12.2020.0000085 oleh Direktorat Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM pada 22 Desember 2020. Hal ini merupakan wujud komitmen KLHK dalam upaya melindungi budaya lokal dan keberlanjutan IKM dan UMKM, khususnya di Bali. Sedangkan pemerintah Bali juga mengeluarkan Surat Edaran Gubernur Bali No. 04 Tahun 2021 tentang Penggunaan Kain Tenun Endek Bali/Kain Tenun Tradisional Bali yang menghimbau masyarakat Bali untuk mengenakan pakaian dari kain tenun Endek atau kain tradisional Bali untuk kegiatan sehari-hari. Sampai sekarang setiap Selasa masyarakat Bali memakai kain tenun Endek atau kain tradisional Bali di sekolah-sekolah, di kantor-kantor, juga di aktivitas lainnya.

MOTIF TENUN ENDEK BALI

Kain Endek merupakan tenun ikat khas Bali yang memiliki beberapa keunikan pada motifnya, dari yang sakral hingga yang mencerminkan nuansa alam. Bentuk kain Endek terdiri dari sarung, kain panjang, dan selendang, di mana sarung biasanya dipakai oleh laki-laki dan kain panjang serta selendang dipakai oleh perempuan. Kain Endek memiliki ciri khas pada motif dan warna yang digunakan, dengan simbol yang memiliki makna tertentu. Beberapa motif yang dianggap sakral hanya digunakan pada upacara keagamaan, seperti motif Patra dan Encak Saji, yang menunjukkan rasa hormat pada Sang Pencipta. Sedangnya motif yang mencerminkan alam yaitu flora dan fauna, serta motif tokoh pewayangan mitologi Bali bisa digunakan di kegiatan sosial serta aktivitas sehari-hari.

 

Selain menggambarkan keindahan alam khas Bali, kain Endek juga melukiskan keindahan karya para seniman dari berbagai daerah sentra tenun Endek di Bali.  Adapun beberapa motif kain Endek adalah :

  1. Motif Geometris

         Berbentuk garis lurus, garis putus, garis lengkung, dan semua bidang geometris. Motif ini merupakan ragam hias tertua diantara ragam hias                 lainnya di Bali, dan sering digunakan sebagai simbolisasi keyakinan masyarakat Bali. Yang termasuk motif ini adalah motif Endek Sidemen.

     2. Motif Flora

         Motif tumbuh-tumbuhan ini merupakan hasil pengayaan bentuk realistis tumbuhan yang didesain menjadi bentuk dekoratif. Tumbuhan tampak           lebih indah namun tetap terlihat karakter aslinya. Beberapa motif flora adalah motif Tunjung, motif Cempaka Rambat, dan motif Sekar Jepun.

     3. Motif Fauna

         Motif ini merupakan pengayaan dari fauna, baik hewan darat, laut, maupun udara. Bentuk fauna digunakan sebagai pengisi di dalam                               kerangka bentuk ragam hias keseluruhan. Contohnya motif Jalak Bali, motif Merak,

     4. Motif Figuratif

         Menggambarkan bentuk manusia atau figur pewayangan dalam bentuk yang lebih sederhana, secara utuh maupun hanya bagian                                     tertentu. Contoh motif ini adalah motif Sangut dan motif Tualen/Semar.

     5. Motif Dekoratif 

      Motif ini merupakan penggabungan seluruh motif yang sudah ada sebelumnya, didesain sesuai keyakinan masyarakat Bali atau                       cerita pewayangan. Disebut juga prembon. Contohnya motif Kontemporer.

 

Menurut I Dewa Gede Visnu Adchan dalam Tinjauan Visual Motif Tenun Ikat Endek Bali, Studi Kasus Motif Cepuk dan Motif Geringsing (2016), tenun ikat Endek Bali bukan hanya produk kebudayaan fisik turun-temurun bagi masyarakat Bali, namun juga merupakan bentuk identitas kultural dan artefak ritual. Ragam hias tenun Endek adalah harmonisasi dari motif-motif hiasnya, yaitu motif geometris, motif flora, motif fauna, motif figuratif, motif dekoratif, hingga motif yang bersifat ritual magis keagamaan.

PERSEBARAN TENUN ENDEK KE KABUPATEN / KOTA

Berawal dari masa kerajaan Waturenggong di Klungkung, kemudian berkembang kembali di desa Sulang, kecamatan Dawan, kabupaten Klungkung atas kerja keras I Wayan Rudja, tenun Endek semakin banyak ditemui di kabupaten-kabupaten lainnya di provinsi Bali.  Selain Klungkung, sentra tenun Endek tersebar di lima kabupaten yaitu Buleleng, Badung, Jembrana, Karangasem, dan Gianyar, serta di kota Denpasar. Di setiap kabupaten/kota, tenun Endek memiliki sebutan yang beragam sesuai nama daerahnya.

Setiap daerah mengembangkan tenun Endek sesuai potensi daerahnya masing-masing. Motif unggulan di desa Sidemen, kabupaten Karangasem, misalnya, adalah motif bunga dan burung. Endek Jembrana di kabupaten Jembrana banyak memproduksi kain Endek dengan motif Jalak Bali. Di kabupaten Badung terdapat empat perajin Endek, yaitu tenun Getasan, tenun Pererenan, tenun Sibang Kaja, dan tenun Mambal, yang memiliki ciri khas yang berbeda, seperti Endek Jepun di Mambal, Endek Jejeg Bagus di Pererenan, Endek Fortuna di Getasan, dan Endek Gurita di Sibang Kaja. Sedangkan tenun Endek di Denpasar, Gianyar, dan Buleleng juga berkembang di daerahnya dengan dukungan pemerintah kabupaten/kota setempat.

Buku Tenun Endek yang merupakan kolaborasi antara BEDO (Business & Export Development Organization) dengan Terasmitra, dengan dukungan Sampoerna Untuk Indonesia dan Pemerintah Provinsi Bali, memuat beberapa motif tenun Endek yang diproduksi oleh para perajin di lima kabupaten yaitu Buleleng, Badung, Jembrana, Gianyar, dan Karangasem. Buku ini disusun berdasarkan riset dan wawancara langsung dengan para perajin di lima kabupaten tersebut. Selain mendukung pelestarian dan pengembangan kain tenun Endek Bali, buku ini juga diharapkan akan mampu melindungi hak kekayaan intelektual para pengrajin tenun.